Selasa, 02 Desember 2014

10. Drama Cerita Rakyat "Timun Mas"

Para pembaca yang berbahagia, kali ini saya ingin menampilkan naskah drama untuk acara pentas seni di suatu sekolah.

Selamat membaca.....

(Musik pembuka dengan volume suara agak meninggi kemudian dikurangi pelan-pelan disusul muncul suara narator)

Narator:
(mengawali dan membuka peragaan drama yang akan dipentaskan)

Assalamu’alaikum wr.wb.
Bapak/Ibu guru, teman-teman dan Para hadirin yang kami hormati, perkenankanlah kami  untuk menampilkan peragaan drama yang berjudul Timun Mas. Dengan para pemain:

Anisa Laila sebagai Timun Mas
Diana Lestari sebagai Ibu Timun Mas/Perempuan Janda
Agung Sanjaya sebagai Raksasa
Rahmat Setiawan sebagai Pertapa

Baiklah para hadirin yang berbahagia, marilah kita saksikan bersama penampilan dari rekan-rekan kami....
(Narator mundur ke belakang pentas)
**Musik**
(volume suara meninggi kemudian melemah)

(disusul muncul suara narator)

Narator:
Alkisah, di sebuah desa di daerah Jawa Tengah, hiduplah seorang perempuan paruh baya. Ia ingin memiliki seorang anak. Namun sayangnya suaminya telah meninggal dunia. Ia sangat berharap suatu keajaiban  datang padanya. Untuk meraih harapan itu, siang malam ia selalu berdoa kepada Tuhan Yang Maha kuasa agar diberi anak.

Pada suatu malam, harapan itu datang melalui mimpinya. Dalam mimpinya, ia didatangi oleh sesosok makhluk raksasa yang menyuruhnya pergi ke hutan tempat biasanya ia mencari kayu bakar untuk mengambil sebuah bungkusan di bawah sebuah pohon besar.

Saat terbangun di pagi hari.....,

(suara musik pengiring melemah lama-lama hilang berganti suara burung-burung berkicau di pagi hari)

Adegan 1

Ibu Timun Mas:
(tersentak terbangun dari tidur kemudian duduk ditempat tidur dan merenung)
Ah! Ternyata aku mimpi! Mimpiku seperti benar-benar nyata. Benar-benar ajaib! Rasanya..., aku tidak percaya dengan mimpiku. Apakah mimpiku itu akan benar-benar terjadi pada diriku?
Ah! aku tidak boleh ragu. Aku harus cari tahu makna mimpiku itu.
Aku harus pergi ke hutan sekarang juga. Semoga mimpiku smalem, membawa kebaikan pada diriku.

Narator:
Dengan penuh harapan, perempuan janda itu bergegas menuju ke tempat yang ditunjuk oleh raksasa itu. Setibanya di hutan....,
**Musik**
(volume suara meninggi kemudian melemah)


Adegan 2

Ibu Timun Mas:
Dimana ya, bungkusan seperti yang ditunjukkan raksasa itu?
Oh! Itu dia ada pohon besar. Aku segera kesana,
Hah?(terkejut) Ini ada bungkusan seperti yang ditunjukkan raksasa dalam mimpiku itu. Coba ku buka isinya.
Hah? (terkejut) Cuma Sebutir biji timun? Kukira, isi bungkusan ini seorang bayi. Tapi, apa maksudnya ya, raksasa itu menunjukkan aku sebutir biji timun ini? Buat apa  biji timun ini?aku tidak mengerti.(bingung)

Narator:
Di saat perempuan janda itu kebingungan, tanpa disadari dibelakangnya tiba-tiba ada sesosok makhluk raksasa berdiri  sambil tertawa terbahak-bahak.

Raksasa:
Ha... ha... ha...!

Ibu Timun Mas:
(tersentak kaget dan membalikkan badan)
Haaaahh??? Raksasa itu, raksasa itu(menunjuk raksasa) yang hadir dalam mimpiku! Duuuh aku, aku takuuut sekali.
Ampun, Raksasa! Jangan memakanku! Aku masih ingin hidup!

Raksasa:
Jangan takut, perempuan tua! Aku tidak akan memakanmu! Bukankah kamu menginginkan seorang anak?

Ibu Timun Mas:
(gugup) Be... benar, Raksasa!

Raksasa:
Kalau begitu, segera tanam biji timun itu! Kelak kamu akan mendapatkan seorang anak perempuan. Tapi, ingat! Kamu harus menyerahkan anak itu kepadaku saat ia sudah dewasa. Anak itu akan kujadikan santapanku!

Narator:
Karena begitu besar keinginannya untuk memiliki anak, tanpa sadar Ibu Timun Mas menjawab.....

Ibu Timun Mas:
Ba....Baiklah, Raksasa! Aku bersedia menyerahkan anak itu nanti kepadamu.

Narator:
Begitu perempuan janda itu selesai menyatakan kesediaannya, raksasa itu pun berlalu dari hadapannya. Perempuan itu segera menanam biji timun itu di ladangnya. Setiap hari ia merawat tanaman itu dengan baik. Dua bulan kemudian, tanaman itu pun mulai berbuah....
**Musik**
(volume suara meninggi kemudian melemah)

Adegan 3

Ibu Timun Mas:
Syukurlah! Tanaman timunku sudah berbuah. Tapi kok buahnya cuma satu ya, dan buahnya besar sekali tidak seperti buah timun pada umumnya. Sungguh aneh! Dan Warnanya pun berwarna kuning keemasan. Hup! Cakep sekali timun ini. Sepertinya timun ini juga sudah masak. Sebaiknya aku petik sekarang juga dan segera ku bawa pulang.
Duuuh, ternyata berat sekali timun ini!
**Musik**
(volume suara meninggi kemudian melemah)


Narator:
Begitu sesampainya di rumah, perempuan janda itu segera membelah timun mas dengan sangat berhati-hati sekali. Dan......apa yang dilihatnya....

Ibu Timun Mas:
(terkejut) haaahh??
Seorang bayi perempuan? Wuaaah! bayi ini sangat cantik sekali. Aku ingin sekali menggendongnya.

Bayi:
(tangisan bayi)Oaek....oaek....oaek.....!

Ibu Timun Mas:
Hah? Bayi ini menangis. Aku bahagia sekali mendengar suara tangisan bayi ini. Sudah lama aku merindukan suara tangisan bayi dalam dekapanku.
Baiklah anakku sayang, karena kau lahir dari dalam sebuah timun yang berwarna keemasan , sekarang kau kuberi nama, Timun Mas.
Tapi kau jangan menangis lagi ya, sayang. Ini ibumu, Nak!  Cup... cup... cup..!, Jangan menangis ya.

Narator:
Perempuan janda itu merasakan sangat bahagia hingga tak terasa, air matanya menetes membasahi kedua pipinya yang sudah mulai keriput. Perasaan bahagia itu membuatnya lupa kepada janjinya bahwa dia akan menyerahkan bayi itu kepada raksasa itu suatu saat kelak. Ia merawat dan mendidik Timun Mas dengan penuh kasih sayang hingga tumbuh menjadi gadis yang cantik, cerdas dan perangainya baik. Oleh karena itu, ia sangat sayang kepadanya.

Suatu malam, perempuan janda itu kembali bermimpi didatangi oleh raksasa itu dan berpesan kepadanya bahwa seminggu lagi ia akan datang menjemput Timun Mas. Sejak itu, ia selalu duduk termenung seorang diri.

Adegan 4

Ibu Timun Mas:
(Menangis) Aku tidak bisa berpisah dengan anak yang sangat kusayangi. Kenapa aku baru menyadari bahwa raksasa itu ternyata jahat. Timun Mas akan dijadikan santapannya. Aku tidak rela! Aku sediiiih sekali!

Narator:
Tanpa disadari perempuan janda itu, Timun Mas sering memperhatikan ibunya duduk termenung sendirian  kemudian di suatu sore, Timun Mas memberanikan diri untuk menanyakan kegundahan hati ibunya.

Timun Mas:
Bu, akhir-akhir ini ibu sering termenung, dan kelihatannya ibu nampak sedih. Apa yang sedang ibu pikirkan?barangkali, aku bisa membantu mengurangi kesedihan ibu?

Ibu Timun Mas:
(gundah) Gimana ya? Ibu tidak ingin kau ikut bersedih, Nak. ibu tidak ingin kehilanganmu. Ibu tidak bisa jauh darimu. Ibu, sangat menyayangimu.

Timun Mas:
Apa maksud ibu? Aku tidak mengerti bu. Ada apa sebenarnya bu? Katakan sejujurnya. Kenapa ibu bicara seperti itu? Aku makin tidak mengerti bu. Katakan terus terang ibu!

Ibu Timun Mas:
Heeemmm!.....Karena kau memaksa ibu terus,
Ya sudah, baiklah, Nak. Ibu akan menceritakan asal usulmu. Sebenarnya ibu tidak ingin  menceritakan perihal asal-usulmu  yang selama ini ibu rahasiakan.
(wajah sedih)Maafkan Ibu, Nak! Selama ini Ibu merahasiakan sesuatu kepadamu.

Timun Mas:
Rahasia apa, Buuu?

Ibu Timun Mas:
Timun Mas......,Sebenarnya...., kamu bukanlah anak kandung Ibu yang lahir dari rahim Ibu.

Timun Mas:
(menyela)Apa bu?! Aku bukan anak kandung ibu?! Trus aku ini anak siapa bu?!

Ibu Timun Mas:
Tenang dulu anakku.baiklah, akan ibu ceritakan semuanya perihal dirimu.

Ibu Timun Mas:
Ibu pernah bermimpi didatangi raksasa besar. Kemudian raksasa itu menyuruh mengambil bungkusan di hutan, di dalam bungkusan itu ada biji timun kemudian disuruh menanam. Setelah berbuah, buah itu akan diambil raksasa untuk dijadikan santapannya. Dan isi buah itu adalah....kau, anakkku!(sambil memeluk Timun Mas)

Timun Mas:
(melepaskan pelukan ibunya) Apa maksud, Ibu? Jadi, jadi, aku ini lahir berasal dari dalam sebuah timun Mas lalu akan dijadikan santapan raksasa? Begitu bu? A, aku tidak percaya ibu!

Ibu Timun Mas:
Cerita ibu, benar anakku!

Timun Mas:
(memeluk ibunya)Timun tidak mau ikut bersama raksasa itu, bu! Timun takut sekali! Timun sangat sayang kepada Ibu yang telah mendidik dan membesarkan Timun.

Ibu Timun Mas:
Iya anakku. Ibu, juga sangat sayang padamu dan ibu tidak akan melepaskanmu begitu saja untuk santapan raksasa. Ibu akan cari cara untuk menyelamatkanmu dari raksasa jahat itu, nak!

Timun Mas:
Makasih, ibu!
**Musik**
(volume suara meninggi kemudian melemah)

Narator:
Berhari-hari Ibu Timun Mas memikirkan cara untuk menyelamatkan anak kesayangannya tapi belum juga menemukan jalan keluar. Sampai pada hari yang telah dijanjikan oleh raksasa itu, Ibu Timun Mas belum juga menemukan jalan keluar. Hatinya pun mulai cemas. Dalam kecemasannya, tiba-tiba ia menemukan sebuah akal.

 Ia menyuruh Timun Mas berpura-pura sakit. Dengan begitu, tentu raksasa itu tidak akan mau menyantapnya. Saat matahari mulai senja, raksasa itu pun mendatangi gubuk Ibu Timun Mas.


Adegan 5

Raksasa:
Ha...! ha...! ha....!Hai, Perempuan Tua! Mana anak itu? Aku akan membawanya sekarang!

Ibu Timun Mas:
(membujuk raksasa dan mengulur waktu agar Timun Mas selamat)
Maaf, Raksasa! Anak itu sedang sakit keras. Jika kamu menyantapnya sekarang, tentu dagingnya tidak enak. Bagaimana kalau tiga hari lagi kamu datang kemari? Aku akan menyembuhkan penyakitnya terlebih dahulu!

Raksasa:
Ha....ha.....ha......!Baiklah, kalau begitu! Tapi, kamu harus berjanji akan menyerahkan anak itu kepadaku!

Ibu Timun Mas:
Baik, baik raksasa! Akan aku tepati janjiku.


Narator:
Raksasa itu pun berlalu dari hadapan Ibu Timun Mas. Ibu Timun Mas kembali bingung mencari cara lain. Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan cara yang menurutnya dapat menyelamatkan anaknya dari santapan raksasa itu. Ia akan meminta bantuan kepada seorang pertapa yang tinggal di sebuah gunung.

Adegan 6

Ibu Timun Mas:
Anakku! Besok pagi-pagi sekali Ibu akan pergi ke gunung untuk menemui seorang pertapa. Dia adalah teman almarhum suami Ibu. Barangkali dia bisa membantu kita untuk menghentikan niat jahat raksasa itu.

Timun Mas:
Ya, bu. Ibu benar! Kita harus membinasakan raksasa itu. Timun tidak mau menjadi santapannya!
**Musik**
(volume suara meninggi kemudian melemah)

Narator:
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, berangkatlah Ibu Timun Mas ke gunung itu. Sesampainya di sana, ia langsung menemui pertapa itu dan menyampaikan maksud kedatangannya.

Adegan 7

Ibu Timun Mas:
Permisi Kyai.

Pertapa:
Ooh Ada apa Nini? ada apa kau tiba-tiba datang kemari?

Ibu Timun Mas:
Maaf, Kyai.  Maksud kedatangan saya kemari ingin minta bantuan pada Kyai.

Pertapa:
Apa yang bisa aku bantu?

Ibu Timun Mas:
Begini Kyai, saya punya seorang putri yang saya beri nama Timun Mas. Dan putri saya itu akan dijadikan santapan raksasa besar. Saya tidak ingin anak saya itu mati jadi santapan raksasa itu, Kyai. Saya, sangat sayang pada putri saya, Kyai. Saya harap, Kyai bersedia membantu saya.

Pertapa:
Ooh jadi begitu, baiklah aku bersedia membantumu.


Tunggu sebentar ya. (masuk ke dalam sebuah ruangan)

Ibu Timun Mas:
Ya, Kyai.

Narator:
Tak berapa lama, pertapa itu kembali sambil membawa empat buah bungkusan kecil, lalu menyerahkannya kepada Ibu Timun Mas.

Pertapa:
Nah, ini berikanlah bungkusan ini kepada anakmu. Keempat bungkusan ini masing-masing berisi biji timun, jarum, garam dan terasi. Jika raksasa itu mengejarnya, suruh sebarkan isi bungkusan ini!, jelas?

Ibu Timun Mas:

Iya, iya Kyai. Terimakasih Kyai.
Kalau begitu,  saya pamit pulang.

Pertapa:
Ya. hati-hati.

Narator:
Setiba di gubuknya, Ibu Timun Mas segera menyerahkan keempat bungkusan itu pada Timun Mas,

**Musik**
(volume suara meninggi kemudian melemah)
Adegan 8

Ibu Timun Mas:
Timun Mas, Timun Mas, ibu datang Nak. Kemarilah Nak ibu bawa sesuatu.

Timun Mas:
Ya bu. Bawa apa bu?

Ibu Timun Mas:
Nak, ini ibu bawakan beberapa bungkusan ini untuk melawan raksasa jahat itu!

Timun Mas:
Bungkusan ini kok kecil-kecil bu? Gimana kita menggunakannya bu? Sedangkan raksasa itu besar sekali! Apa raksasa itu bisa mati hanya dengan bungkusan kecil ini bu?

Ibu Timun Mas:
Ssstttt! Ini adalah senjata yang bisa kau gunakan apabila raksasa itu datang kesini lagi.  bungkusan ini berisi biji timun, jarum, garam dan terasi. Bungkusan-bungkusan ini harus kamu pegang. Jika raksasa itu akan menyantapmu dan mengejarmu, segera sebarkan isi bungkusan ini! jelas Nak?

Timun Mas:
Jelas ibu. Tapi, tapi Timun takut, ibu.

Ibu Timun Mas:
Jangan takut anakku. Kau sudah punya senjata. Dan ibu juga sudah agak tenang karena kau sudah memegang senjata.

Timun Mas:
Baik, ibu.

Narator:
Dua hari kemudian, Raksasa itu pun datang untuk menagih janjinya kepada Ibu Timun Mas. Ia sudah tidak sabar lagi ingin membawa dan menyantap daging Timun Mas.

Adegan 9

Raksasa:
Hai, perempuan tua! Kali ini kamu harus menepati janjimu. Jika tidak, kamu juga akan kujadikan santapanku! Ha....ha.... ha....!

Ibu Timun Mas:
Baik, raksasa. Aku panggil dulu putriku.
Timun Mas putriku, kemarilah nak. Ini ada yang mencarimu.

Narator:
Ibu Timun Mas tidak gentar lagi menghadapi ancaman raksasa. Dengan tenang, ia memanggil Timun Mas agar keluar dari dalam gubuk. Tak berapa lama......., Timun Mas pun keluar lalu berdiri di samping ibunya.

Timun Mas:
Ada apa ibu?(melirik ke raksasa) haaahhh? Raksasa! Aku takut bu. Takuuuuut!


Ibu Timun Mas:
(berbisik)Jangan takut, Anakku! Jika raksasa itu akan menangkapmu, segera lari dan ikuti petunjuk yang telah kusampaikan kepadamu!

Timun Mas:
Baik, Bu!

Raksasa:
Hemmm! Gadis ini pasti sangat lezat jika kusantap!
Ha....ha....ha....!
Aku makin tidak sabar untuk menyantapnya!
Ayo kemarilah nak mendekatlah padaku!

Timun Mas:
(sambil lari) aku tidak mau! Aku tidak sudi jadi santapanmu!

Narator:
Melihat Timun Mas yang benar-benar sudah dewasa, raksasa itu semakin tidak sabar ingin segera menyantapnya. Ketika ia hendak menangkapnya, Timun Mas segera berlari sekencang-kencangnya.

Raksasa:
Ha.... ha....ha....!
Mau lari kemana kau, gadis?

Narator:
Raksasa itu pun mengejarnya. Tak ayal lagi, terjadilah kejar-kerajaan antara makhluk raksasa itu dengan Timun Mas. Setelah berlari jauh, Timun Mas mulai kecapaian, sementara raksasa itu semakin mendekat.

Timun mas:
Aduh!(terjatuh) aku capai sekali! Duuuh gimana ini, raksasa itu makin mendekat padaku.

Raksasa:
(mendekat ke Timun Mas) Ha....ha...ha.....!Mau lari kemana anak manis?

Timun Mas:
Oh iya, aku harus mengeluarkan bungkusan yang diberikan ibu.

Narator:
Setelah kecapaian, Timun Mas menebar biji timun yang diberikan oleh ibunya. Sungguh ajaib, hutan di sekelilingnya tiba-tiba berubah menjadi ladang timun. Dalam sekejap, batang timun tersebut menjalar dan melilit seluruh tubuh raksasa itu. Namun, raksasa itu mampu melepaskan diri, dan kembali mengejar Timun Mas.

Raksasa:
Ha....ha....haaa.....! mau lari kemana kau Timun Mas?!

Narator:
Timun Mas pun segera melemparkan bungkusan yang berisi jarum. Dalam sekejap, jarum-jarum tersebut berubah menjadi rerumbunan pohon bambu yang tinggi dan runcing. walaupun kakinya berdarah-darah karena tertusuk bambu. Namun, raksasa itu mampu melewatinya....,

Raksasa:
Ha....ha....haaa.....! mau lari kemana kau Timun Mas?! Aku akan terus mengejarmu!

Timun Mas:
Duuuh gimana ini? Aku sudah melempar 2 bungkusan biji timun dan jarum, raksasa itu masih berhasil menyelamatkan diri dan terus mengejarku. Aku takuut sekali. Ah! Ga apa-apa. Aku masih punya beberapa bungkusan lagi. Baik, aku buka bungkusan satunya lagi!

Narator:
Timun Mas membuka bungkusan ketiga yang berisi garam lalu menebarkannya. Seketika itu pula, hutan yang telah dilewatinya tiba-tiba berubah menjadi lautan luas dan dalam, namun raksasa itu tetap berhasil melaluinya dengan mudah.

Timun Mas:
(cemas) duuuh gimana ini? Bungkusan yang ketiga sudah kutebarkan juga, tapi raksasa itu masih bisa menyelamatkan diri. Kini senjataku tinggal satu-satunya.
Jika senjataku satu-satunya ini tidak berhasil melumpuhkan raksasa itu, maka tamatlah riwayatku. Baiklah! Aku akan berusaha semoga senjataku yang tinggal satu ini bisa membinasakan raksasa itu!
Nih raksasa! Terimalah iniiii!!!(dilemparkan bungkusan yang terakhir ke arah raksasa)
**Musik**
(volume suara meninggi kemudian melemah)

Narator:
Dengan penuh keyakinan, ia pun melemparkan bungkusan terakhir yang berisi terasi. Seketika itu pula, tempat jatuhnya terasi itu tiba-tiba menjelma menjadi lautan lumpur yang mendidih. Alhasil, raksasa itu pun tercebur ke dalamnya dan tewas seketika.

Timun Mas:
Syukurlah! Raksasa itu sudah mati. Aku selamat. Terimakasih Tuhan! Aku harus segera pulang menyampaikan kabar gembira ini pada ibu.
(berlari kemudian memeluk)
ibu......! aku selamat ibu! Aku selamat dari kejaran raksasa itu, ibu! Raksasa itu kini sudah mati!

Ibu Timun Mas:
Apa? Kau selamat anakku?!
Syukurlah! Ibu senang sekali. Ibu bahagia, Nak. Akhirnya kau selamat, Nak.(berpelukan)

Narator:
Sejak itu, Ibu Timun Mas dan Timun Mas hidup berbahagia.
(Narator naik ke atas pentas dan menutup peragaan drama)

Narator:
Demikianlah tadi dongeng Timun Mas dari daerah Jawa Tengah. Dari Cerita tadi dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa orang yang selalu berniat jahat terhadap orang lain seperti raksasa itu, pada akhirnya akan celaka. Selain itu, cerita tadi juga mengandung pelajaran bahwa dengan usaha dan kerja keras segala rintangan dan cobaan dalam hidup ini dapat diselesaikan dengan baik. Seperti yang ditunjukkan oleh Ibu Timun Mas dan Timun Mas. Berkat usaha dan kerja kerasnya, mereka dapat membinasakan raksasa jahat yang hendak memangsa Timun Mas.


9.  Drama Cerita Rakyat "Cindelaras"

Narator:
Alkisah. Dahulu kala di Jawa Timur terdapat kerajaan yang dipimpin oleh raja bernama Raden Putra. Raden Putra kaya raya dan berkuasa. Kegemarannya menyabung ayam.
Raden Putra memiliki permaisuri dan beberapa orang selir. Seorang selirnya mempunyai sifat iri dengki dan ingin merebut kedudukan permaisuri. Untuk mewujudkan keinginannya ia memfitnah permaisuri.
Nah, bagaimana kisah selanjutnya....?? Mari kita saksikan peragaan drama berikut ini....

Adegan 1

Tabib:
Ampun Tuan Putri. Ada apakah gerangan Tuan Putri memanggil hamba?

Selir:
Tabib, aku ingin menjadi permaisuri raja. Aku sudah bosan menjadi selir raja. Makanya aku ingin menyingkirkan permaisuri dari istana ini!
aku akan pura-pura sakit yang disebabkan oleh permaisuri yang sengaja ingin meracuni aku karena dia iri padaku. Dan kau Tabib, harus membantuku untuk melaksanakan keinginanku.
Kau mengerti Tabib?

Tabib:
Hamba mengerti Tuan Putri.

Selir:
Bagus! Bagus! Kalau kau sudah mengerti. Kalau begitu, beri tahu baginda raja sekarang. Kalau aku sedang sakit.

Tabib:
Baik Tuan Putri. Perintah Tuan Putri, segera saya laksanakan.

Narator:
Tak lama kemudian, Tabib istana segera menyampaikan kepada baginda raja bahwa selir sedang sakit. Sementara, selir berpura-pura merintih kesakitan.

Adegan 2

Tabib:
Ampun baginda. Salah seorang selir ada yang menderita sakit. Dan sakitnya, diakibatkan setelah meminum minuman yang diberikan oleh permaisuri.

Raja:
Maksudmu, sakitnya selirku karena karacunan minuman yang diberikan permaisuri begitu?!

Tabib:
Benar baginda, raja

Raja:
Apa? Benar yang kau sampaikan ini tabib? Apa kau tidak mengada-ngada?

Tabib:
Yang hamba sampaikan ini benar baginda.

Raja:
Dinda, apa benar yang dikatakan Tabib istana?
Apa benar permaisuri meracunimu?

Selir:
(sambil merintih sakit) Benar baginda. Hamba sakit setelah minum minuman yang diberikan permaisuri. Kata Tabib istana, minuman yang saya minum itu mengandung racun.

Raja:
(marah) Permaisuri benar-benar keterlaluan! Tega-teganya dia ingin membunuhmu.
Pengawal! Panggil permaisuri menghadap saya sekarang juga!

Pengawal:
Baik. Baginda. Perintah baginda segera hamba laksanakan.

Narator:
Tak lama kemudian, pengawal sudah tiba membawa permaisuri ke hadapan baginda raja

Pengawal:
Ampun Baginda. Ini permaisuri sudah hadir dihadapan baginda.

Permaisuri:
(dengan polos) Ada apa gerangan kanda memanggil hamba?

Raja:
(marah) Kau sungguh-sungguh keterlaluan Dinda! Kau sengaja menaruh racun di minuman selir karena kau iri padanya. Iya kan? Kau ingin membunuh dia kan? Dasar pembunuh!

Permaisuri:
Apa? Ampun baginda. Ini, ini fitnah baginda. Hamba tidak pernah memberi minuman pada selir paduka.

Raja:
(marah) Aku sudah tidak percaya dengan segala alasanmu! Aku sudah tidak sudi melihatmu lagi ada di depanku lagi!
Pengawal!

Pengawal:
Hamba, Baginda.

Raja:
Bawa segera permaisuri ke hutan dan bunuh dia!

Permaisuri:
Apa?!(menangis)
Ampun kanda. Hamba benar-benar tidak pernah melakukan seperti yang dituduhkan kepada hamba. Itu fitnah! Itu bohong!

Raja:
Pengawal! Tarik segera permaisuri ke luar istana! Aku sudah tidak sudi melihat dia lagi!

Pengawal:
Baik Baginda.
Mari, permaisuri. Maafkan hamba permaisuri. Hamba hanya melaksanakan perintah raja.

Narator:
Pengawal akhirnya membawa ke luar permaisuri dan membawanya ke hutan. Tapi pengawal tidak sampai hati untuk membunuh permaisuri yang sedang hamil.

Adegan 3

Pengawal:
Tenang Tuan Permaisuri. Hamba tahu akal busuk selir dan hamba tidak akan membunuh permaisuri. Hamba hanya mengantar permaisuri ke hutan ini.
Hamba akan mengatakan pada Baginda raja bahwa hamba telah membunuh Tuan Permaisuri.
Dan pedang saya ini akan hamba lumuri dengan darah kelinci supaya raja percaya kalau Tuan permaisuri sudah mati

Permaisuri:
Terimakasih pengawal. Kau baik sekali.
Sungguh aku tidak akan melupakan budi baikmu

Pengawal:
Sudah sewajarnya hamba melakukan ini Tuan Permaisuri. Hamba tidak rela Tuan Permaisuri yang baik hati difitnah oleh selir raja.
Nah. Pedang hamba sudah selesai hamba lumuri dengan darah kelinci.
Sekarang hamba, akan kembali ke istana.

Permaisuri:
Baiklah, pengawal. Terimakasih atas pertolonganmu.

Narator:
Sesampainya di istana, pengawal langsung menghadap raja

Adegan 4

Pengawal:
Ampun baginda. Perintah baginda sudah hamba laksanakan.

Raja:
Mana buktinya pengawal?

Pengawal:
Ini raja. Pedang hamba sudah berlumuran darah permaisuri.

Raja:
Bagus! Bagus! Kau sudah melaksanakan perintahku dengan baik.

Narator:
Setelah mendengar laporan pengawal, raja dan selir merasa puas dan bahagia karena mengira permaisuri sudah terbunuh.

Beberapa bulan kemudian permaisuri melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan dan sehat.
Ia diberi nama Cindelaras. Cinde Laras tumbuh menjadi anak yang kuat dan cerdas. Ia suka bermain di hutan. Pada suatu hari ia menemukan sebutir telur ayam.

Adegan 5

Cindelaras:
Bunda.....! lihatlah! Aku menemukan sebutir telur ayam

Permaisuri:
Oh iya betul anakku. Rawatlah telur ayam ini sampai menetas. Nanti  akan bermanfaat untukmu

Cindelaras:
Iya bunda. Akan kurawat telur ayam ini seperti nasehat bunda.

Narator:
Selang beberapa hari telur Cindelaras menetas dan menjadi anak ayam jantan. Ayam itu dengan cepat tumbuh besar. Seperti kebiasaan ayahnya, Cindelaras suka menyabung ayam.
Ia pergi ke desa-desa tetangga untuk menyabung ayam. Ayam jagonya sangat kuat dan selalu menang melawan ayam-ayam jago lain. Cindelaras menjadi terkenal. Semua orang mendengar cerita tentang anak laki-laki itu dan ayam jagonya.

Adegan 6

Pengawal:
Ampun, baginda. Hamba mendengar dari para penduduk bahwa ada seorang bocah yang memiliki ayam jago yang sangat luar biasa. Ayam bocah itu selalu menang apabila bertanding bertarung dengan ayam  jago para penduduk lainnya.

Raja:
Heemm. Apa tadi kau bilang? Pemiliknya masih bocah? Orang dari desa mana dia?

Pengawal:
Ampun baginda. Menurut berita yang hamba dengar, bocah itu tinggalnya di hutan.

Raja:
Heemm. Aku jadi penasaran. Pengawal! Bawa bocah itu ke istana suruh menghadapku sekarang juga!

Pengawal:
Baik baginda. Perintah baginda, segera hamba laksanakan.

Narator:
Tak lama kemudian, pengawal sudah berhasil membawa Cindelaras ke hadapan raja.

Raja:
Heeemm. Hai bocah! mana ayam jagomu? Katanya ayam jagomu adalah ayam terkenal dan terhebat yang tidak bisa terkalahkan oleh ayam jago siapapun? Ayo, sekarang lawan ayam jago kepunyaanku!

Cindelaras:
Ampun, baginda. Hamba bersedia menuruti tantangan baginda. Tapi hamba ada syarat.

Raja:
Syarat apakah itu?

Cindelaras:
Syaratnya adalaaah bila hamba memenangkan pertandingan, raja harus merelakan setengah kerajaan untuk diberikan kepada hamba.

Raja:
(bergumam) pintar sekali anak muda ini mengajukan persyaratan. Ayam-ayam jagoku adalah ayam pilihan dan dirawat dengan sangat baik. Tidak mungkin ayam jago anak ini yang akan menang.

Baiklah anak muda. Aku setuju dengan persyaratanmu!
Dan bagaimana apabila ayammu yang kalah?

Cindelaras:
Jika ayam hamba yang kalah, hamba bersedia dihukum pancung.

Raja:
Baiklah anak muda, kita mulai sekarang pertarungan ini

Cindelaras:
Baiklah, baginda raja

Narator:
Maka, dimulailah pertarungan yang sengit ayam jago raja melawan ayam jago Cindelaras
Raja sudah berusaha memilih ayamnya yang terbaik untuk melawan ayam Cindelaras, namun....

Raja:
(bergumam)Wuaaahhh! Benar-benar hebat ayam bocah itu dengan mudahnya ayam jagoku dikalahkan sampai ayam jagoku babak belur dihajar oleh ayam bocah itu.
Benar kata para penduduk. Ayam bocah itu memang tidak terkalahkan!

Narator:
Melihat pertarungan itu semua orang terkejut. Mereka lebih heran lagi ketika ayam Cinde Laras berkokok dan berbunyi.....

Ayam:
Kukuruuyuuuk...! Akulah ayam jago Cindelaras, yang hidup di hutan, tapi ia anak Raden Putra!

Narator:
Ayam itu berkokok lantang berulang-ulang. Semua orang yang melihat adu ayam terkejut bukan main.
Rajapun sangat terkejut. kemudian raja memanggil Cindelaras

Adegan 7

Raja:
Hai bocah! Mendekatlah kemari!

Cindelaras:
Baik, baginda.

Raja:
Siapa namamu?  Dan Di mana rumahmu?

Cindelaras:
Nama hamba Cindelaras, yang mulia. Hamba tinggal bersama ibu di hutan

Raja:
Siapa nama ibumu?

Cindelaras:
Ibu hamba seorang permaisuri di kerajaan ini, baginda

Raja:
(terkejut) Apa kau bilang?!
(bergumam) Apa benar yang kau katakan itu?

Cindelaras:
Benar, baginda.

Narator:
Cinde Laras menyebutkan nama ibunya dan raja langsung terperanjat.

Raja:
(bergumam) Apakah benar ia anakku?
Katanya anak ini  tinggal di hutan, namun dari tadi kuperhatikan ketika dia datang di istana tindak tanduknya seperti anak bangsawan

Pengawal:
Ampun baginda. Dulu sewaktu baginda memerintahkan hamba untuk membunuh permaisuri yang sedang hamil,  hamba tidak tega membunuh permaisuri karena hamba tahu kalau permaisuri hanya difitnah oleh selir yang ingin menjadi permaisuri.

Raja:
Apa? Pengawal! Apakah yang kau katakan itu adalah kebenarannya?

Pengawal:
Benar baginda.

Narator:
Mendengar semua itu, Raden Putra sangat marah.

Raja:
Pengawal! Ayo tunjukkan sekarang juga di mana permaisuri sekarang berada.

Pengawal:
Baik Baginda. Perintah baginda segera hamba laksanakan!

Raja:
Ayo Cindelaras, kau ikut bersamaku juga tunjukkan dimana tempat tinggalmu

Narator:
Dan tak lama kemudian, sampailah raja, pengawal dan Cindelaras di hutan.
Begitu sampai di depan gubug Permaisuri yang saat itu sedang menyapu di halaman, raja langsung mengenalinya kemudian memanggilnya,

Adegan 8

Raja:
Dinda, Dinda permaisuri maafkan aku, Dinda!

Permaisuri:
(terkejut) Haah?? Kanda?! Kenapa bisa tahu hamba berada di sini?

Raja:
Aku kesini bersama putramu dan pengawal.
Dinda, maafkan aku Dinda. Aku sudah mendengar dari pengawal tentang kebenarannya. Aku sangat menyesal terlalu menurutkan nafsu buru-buru marah dan tidak mendengarkan penjelasanmu waktu itu.
Dinda, ayo pulang lagi ke istana. Bersama putra kita Cindelaras.

Narator:
Permaisuri sangat kaget dan hanya bisa terdiam terhadap apa yang sedang terjadi. Dan pengawal maupun Cindelaras merasakan haru terhadap perjumpaan raja dan permaisurinya.

Permaisuri:
Baiklah kanda. Dinda juga sudah lama memaafkan kanda. Mari kita mulai kehidupan kita yang baru lagi

Raja:
Terimakasih dinda. Sungguh kau wanita yang sangat baik hati. Aku sangat menyesal telah menyia-nyiakanmu.

Narator:
Akhirnya Raja  dan permaisuri bersama putranya Cindelaras diiringi pengawal kembali ke istana. Raja mengukuhkan kembali kedudukan permaisuri dan menghukum selir yang jahat itu. Sejak saat itu Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras hidup bahagia di istana.
Setelah raja meninggal, Cinde Laras menggantikannya menjadi raja. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana

Demikianlah tadi cerita rakyat dari Jawa timur. Semoga dari cerita tadi dapat diambil pelajaran bagi kita semua

8. Drama cerita Rakyat " Sawunggaling"

Narator:
Cerita rakyat Jaka Berek atau Sawunggaling atau Raden Mas Tumenggung Sawunggaling merupakan salah satu cerita legenda Surabaya.
Konon kabarnya ia dikenal sebagai tokoh sejarah, yang masih belum banyak diceritakan sejarah Indonesia. Oleh karena itu
kita saksikan tentang kisahnya dalam sebuah drama. Selamat menyaksikan....

Adegan 1

(terdengar keributan suara anak-anak)

Anak-anak:
(sambil menunjuk ke arah Jaka Berek)
Anak haram! Anak haram! Anak haram!

Jaka Berek:
Heh! Aku bukan anak haram ! aku punya ibu

Anak-anak:
Iya! Betul kamu memang punya ibu. Tapi tidak punya ayah! Alias anak haram!

Jaka Berek:
Heh! Kalian jahat sekali padaku! Awas! Aku adukan ke ibuku!

Narator:
Jaka Berek marah kemudian pulang meninggalkan teman-temannya  yang selalu mengejeknya dan penasaran bukan kepalang karena teman-temannya selalu mengejek bahwa ia tak punya ayah sah alias anak haram.
lalu mengadukan ke ibunya, Sesampai di rumah,

Adegan 2

Jaka Berek:
Ibu! Ibu! Ibu! Aku sungguh tak tahan lagiii!

Dewi Sangkrah/Ibu:
Ada apa, Anakku ? Kenapa teriak-teriak dan wajahmu cemberut begitu?

Jaka Berek:
Ibu harus menjelaskan, siapakah sebenarnya ayahku?..Kalau sudah meninggal dimana kuburnya biar aku mengirim do’a di pusaranya dan jika masih hidup, sudilah ibu menunjukkan tempatnya padaku!(merengek)

Narator:
Hati Dewi sangkrah berdebar, Ia sudah menduga hal ini akan terjadi.Tak bisa tidak dia harus menjawabnya dengan gamblang.

Dewi Sangkrah/Ibu:
Ayahmu adalah....

Jaka Berek:
Siapa ayahku ibu? Katakan padaku ibu!

Dewi Sangkrah/Ibu:
Anakku Jaka Berek, karena kau telah dewasa, sudah sepatutnya kau bertanya tentang ayahmu. Ketahuilah anakku, ayahmu adalah seorang Adipati di Kadipaten Surabaya. Namanya Jayengrana. Bila ingin bertemu dengannya datanglah kesana.

Jaka Berek:  
Terima kasih bu. Baiklah bu, kalau begitu aku akan segera ke kadipaten sekarang juga. Jaka Pamit ya, bu.

Dewi Sangkrah/Ibu:
Ya, anakku. Hati-hati ya anakku. Do’a ibu menyertaimu.

Narator:
Dengan bekal seadanya, Jaka Berek berangkat ke Kadipaten Surabaya untuk menjumpai ayahnya. Ketika hendak memasuki pintu gapura kadipaten, Jaka Berek dicegat oleh seorang prajurit yang sedang berjaga.

Adegan 3

Prajurit:
Berhenti kamu! mau apa berani datang ke kadipaten ini?

Jaka Berek:
(wajah polos)  Saya ingin bertemu dengan sang Adipati.

Prajurit:
(membentak)Hai anak muda!  ketahuilah aku adalah prajurit yang sedang berjaga. Kau tidak boleh masuk ke kadipaten. Kau harus pergi dari sini sebelum ku usir!

Jaka Berek:.
Aku tak mau pergi sebelum bertemu dengan Adipati Jayengrana.

Prajurit:
(jengkel sambil memukul) Hei anak muda! Dasar pemuda kampung! Tidak mau mendengarkan perintahku!

Jaka Berek:
Aku tetap akan melawanmu prajurit sebelum aku bertemu sang Adipati! Panggil Adipatimu aku ingin bertemu dengan dia!

Narator:
Jaka Berek bukannya pergi malah melawan dengan berani. Untunglah perkelahian itu diketahui oleh dua orang putera Adipati Jayengrana yang bernama Sawungsari dan Sawungrana.oleh mereka perkelahian itu dilerai.

Sawungrana:
Hei! Berhenti! Berhentiiii! Ada apa ini kalian berkelahi dan membuat keributan disini!?

Prajurit:
Maaf pangeran, pemuda ini hendak memaksa masuk kadipaten. Saya cegah tetapi  dia malah melawan.

Narator:
Mendengar laporan dari prajuritnya keduanya bertanya pada Jaka Berek,

Sawungrana:
Hemmm...Maaf, siapakah saudara dan ada keperluan apa hendak memaksa masuk kadipaten?

Jaka Berek:
Aku hendak menghadap Adipati Jayengrana. Ada yang ingin ku sampaikan kepada beliau.

Sawungsari:
Heh! Orang kampung.Tak ada orang luar yang boleh menemui ayahku. Sebaiknya kau pulang saja atau aku yang memaksamu pulang .

Jaka Berek :
(tegas) Aku tetap pada pendirianku, mau menemui Adipati Jayengrana!

Sawungsari:
Heh! Pemuda masih membandel juga. Ayo kakang, kita usir pemuda ini beramai ramai!

Narator:
Melihat kenekatan Jaka, kedua putera Adipati itupun segera mengeroyoknya, dengan tangkas Jaka Berek melawan.
Belum lama perkelahian itu, Adipati Jayengrana keluar dan melihatnya dan iapun segera menghampiri.

Adipati Jayengrana:
(teriak) Hei..hentikan perkelahian ini! Ada apa dan kenapa kalian berkelahi?

Sawungrana:
Ampun ayahanda. Pemuda ini ingin menemui ayahanda. Sudah saya cegah, tapi tetap nekad ingin bertemu langsung dengan ayahanda.

Adipati Jayengrana:
Apa benar kamu yang bernama Jaka Berek yang mau menemuiku, sekarang katakan apa keperluanmu?

Jaka Berek:
Hamba hanya ingin mencari ayah hamba yang menjadi Adipati di sini yang bernama Adipati Jayengrana. Kalau memang tuan orangnya, tentu tuanlah ayah hamba.

Adipati Jayengrana:
Nanti dulu. Siapa nama ibumu dan apa buktinya kalau kau memang anakku?

Jaka Berek:
Hamba adalah putera dari ibu Dewi Sangkrah. Sebagai buktinya, ibu memberi hamba sebuah selendang Cinde Puspita ini.

Adipati Jayengrana:
Oh ya benar.  selendang itu adalah selendang Cinde Puspita yang dulu pernah kuberikan pada ibumu. Dewi Sangkrah.
Kalau begitu kau memang anakku(memeluk Jaka Berek)
Sawungrana dan Sawungsari, kenalkan ini Jaka Berek adalah saudara kandungmu juga(bersalaman).
Nah Jaka Berek, mulai saat ini kamu tinggal di kadipaten bersama saudara-saudaramu yang lain juga dan namamu aku ganti menjadi Sawunggaling.

Narator:
Suatu hari Kadipaten Surabaya kedatangan kompeni Belanda yang dipimpin oleh Kapten Knol yang membawa surat dari Jenderal De Boor yang isinya mengatakan bahwa kedudukan Adipati di Surabaya akan dicabut karena Adipati Jayengrana tak mau bekerjasama dengan kompeni Belanda. Tetapi pada saat itu,ada pengumuman bahwa di alun-alun Kartasura akan diadakan sayembara sodoran (perang tanding prajurit berkuda dengan bersenjata tombak) dengan memanah umbul-umbul yang bernama umbul-umbul Tunggul Yuda.

Adegan 4

Adipati Jayengrana:
Anak-anakku Sawungrana dan Sawungsari, di alun-alun Kartasura akan diadakan sayembara. Pemenangnya akan diangkat menjadi Adipati di Suarabaya. Kalian berdua harus ikut sayembara tersebut. Kalian harus merebut kembali kedudukan ayahanda sebagai Adipati Surabaya.

Sawungrana:
Iya. Ayahanda.

Adipati Jayengrana:
Dan ingat! Kalian harus terus berlatih agar bisa memenangkan sayembara tersebut.

Sawungrana:
Iya Ayahanda. Nasehat ayahanda akan kami laksanakan

Narator:
Pada hari sayembara diadakan, tanpa memberitahu Sawunggaling, Jayengrana dan kedua puteranya pergi ke Kartasura.dan tanpa setahu merekapun Sawunggaling juga pergi ke Kartasura. Sebelum berangkat Sawunggaling pulang ke desa meminta do’a restu dari ibu, kakek dan neneknya.
 
Sayembara memanah umbul-umbul itu ternyata hanya diikuti oleh Sawungrana dan Sawungsari, tetapi keduanya gagal tak bisa menjatuhkan umbul-umbul Tunggul Yuda yang dipasang di Menara Galah. Karena tak ada pemenangnya, Sosro Adiningrat yang bertindak sebagai panitia pelaksana lomba, segera mengadakan pendaftaran lagi.

Sosro Adiningrat:
Wahai para pemuda segeralah mendaftar lagi. Pendaftaran sayembara masih dibuka karena belum ada yang memenangkan sayembara! Ayo kemarilah ramai-ramai mendaftar lomba!

Narator:
Setelah panitia mengumumkan dan membuka pendaftaran lagi, tiba-tiba datang seorang pemuda datang mendaftar. Dan dia adalah....

Sawunggaling:
Permisi Tuan. Saya hendak mendaftar sayembara tersebut.

Sosro Adiningrat:
Oh ya. Siapa namamu pemuda?

Sawunggaling:
Nama hamba Sawunggaling,Tuan.

Sosro Adiningrat:
Ya bagus. Sawunggaling, kamu adalah satu-satunya pemuda yang berani mendaftar. Kalau begitu segera panahlah umbul-umbul tunggal yuda itu.

Sawunggaling:
Baiklah, Tuan. Akan saya panah umbul-umbul itu sekarang.

Narator:
Setelah Sawunggaling memanah umbul-umbul tunggul yuda.ternyata dia berhasil umbul-umbul tersebut. Dan....terdengar suara tepuk tangan para penonton lomba.

Pada saat itu ada seorang pemuda yang ikut mendaftar
dan ternyata dialah Sawunggaling dan dia pulalah satu-satunya yang bisa menjatuhkan umbul-umbul Tunggul Yuda.

Sosro Adiningrat:
Kau hebat anak muda. Kau pemuda satu-satunya yang mendaftar lomba dan kaulah satu-satunya pemuda yang bisa menjatuhkan umbul-umbul Tunggul Yuda. Ku umumkan sekarang...,
Dengan ini pemenangnya adalaaaahh Sawunggaling.
Selamat Sawunggaling. Karena kau telah memenangkan lomba, jadi kau berhak menjadi Adipati Surabaya.

Sawunggaling:
Terima kasih, Tuan.

Narator:
Panitia langsung mengangkat dan memakaikan mahkota  sebagai kemenangan dan menjadi Adipati Surabaya. Setelah Sawunggaling dinyatakan sebagai Adipati Surabaya, ia dinikahkan dengan puteri dari Amangkurat Agung di Kartasura yang bernama Nini Sekar Kedaton.
Keberhasilan sawunggaling itu membuat iri dua saudaranya.

Adegan 5

Sawungsari:
kakang, Sawunggaling bisa memenangkan lomba dan kini dia yang menjadi Adipati Surabaya. Aku tidak ingin dia menduduki bupati Surabaya.

Sawungrana:
Iya betul. Aku juga kurang setuju jika dia jadi bupati.

Sawungsari:
Kita harus menyingkirkan dia kakang.

Sawungrana:
Iya aku juga ingin menyingkirkan dia dari kadipaten Surabaya. Gimana caranya ya?

Sawungsari:
Kakang ikuti saja nanti ideku untuk menyingkirkan sawunggaling

Sawungrana:
Ya, baik dinda aku ikuti saranmu

Narator:
Beberapa hari kemudian, pada saat pesta besar-besaran untuk merayakan pengangkatan Sawunggaling sebagai Adipati di Surabaya,

Adegan 6

Sawungsari:
Kakang, hari ini diadakan pesta besar-besaran. Ayo kita laksanakan rencana kita untuk menyingkirkan Sawunggaling. Kita masukkan bubuk racun ke dalam minuman Sawunggaling.

Sawungrana:
Iya betul! Bagus dinda. Hati-hati ya Dinda jangan sampai ada yang melihat  sewaktu Dinda memasukkan bubuk racun itu ke dalam minuman Sawunggaling.

Sawungsari:
Beres Kakang!

Narator:
Tanpa sepengetahuan Sawungsari dan Sawungrana, dari belakang mereka ada sepasang mata memperhatikan gerak gerik mereka...

Adipati Cakraningrat:
(bergumam)Wuaah apa yang dilakukan kedua orang itu ya? Mencurigakan sekali. Seperti mereka sedang memasukkan sesuatu ke dalam gelas minuman. Siapa yang akan diracuni oleh mereka itu? Loh? Loh? Gawat! Gelas minuman yang berisi racun itu, akan disodorkan pada Adipati Sawunggaling. Aku harus segera menolong Adipati Sawunggaling sebelum minuman itu diminum oleh Adipati.
Adipati Cakraningrat dari Madura.

Narator:
Sesaat kemudian terdengar bunyi....Prang! (gelas terjatuh)
Adipati Cakraningrat pura-pura menubruk Sawunggaling yang mengakibatkan terjatuhnya gelas berisi racun itu.

Sawunggaling:
Apa-apaan ini! Memalukan!

Sawungrana:
(sangat marah)Dinda Sawunggaling, lihatlah ulah Adipati dari Madura itu, dia tidak menghormatimu karena telah menjatuhkan minuman. Ini penghinaan !

Sawunggaling:
Ayo, Paman. Ikut saya segera!

Narator:
Dengan cepat, disambarnya tangan Adipati Cakraningrat dan ditariknya keluar dari kadipaten.

Adegan 7

Sawunggaling:
Paman, katakan! mengapa paman menghinaku di hadapan para tamu. Apakah paman ingin menantangku berkelahi?!

Adipati Cakraningrat:
Tenang anakku, ketahuilah bahwa minuman yang hendak kau minum itu sebenarnya telah diberi racun oleh Sawungrana, aku melihat sendiri perbuatan mereka. Oleh karena itu, aku ingin menyelamatkanmu dari perbuatan mereka

Sawunggaling:
Oooh! Jadi begitu. Mereka sungguh sangat kejam ingin membunuhku dengan cara meracuniku.Paman, maafkan aku. Aku sangat  merasa menyesal telah tergesa-gesa menuduh Adipati Cakraningrat yang bukan-bukan.

Adipati Cakraningrat:
Dan semua itu memang telah direncanakan oleh para kompeni belanda. Kedua kakakmu telah bergabung dengan para kompeni karena menginginkan kedudukan sebagai Adipati di Surabaya.

Sawunggaling:
Oooh jadi begitu ya, paman. Aku baru tahu niat akal busuk mereka. Kalau begitu, mulai sekarang aku bertekad akan memerangi Belanda!

Narator:
Dalam memerangi belanda, Sawunggaling selalu menambah kekuatan laskarnya.
Tiba saatnya terjadi peperangan melawan Belanda...

Adegan 8

Sawunggaling:
Hei! Para Kompeni belanda, aku siap menantangmu! Ayo berperang, segera pergilah dari tanah airku!

Laskar Sawunggaling:
(serentak)
Ayo! ayo! ayo! kita serang para kompeni belanda....!

Narator:
Terjadilah peperangan yang sengit antara Laskar Sawunggaling dan para kompeni Belanda.
Akhirnya....

Laskar Sawunggaling:
Hore! Hore! Hore! Menang! Menang! Jenderal De Boor terbunuh!

Narator:
Akhirnya peretempuran melawan laskar Belanda dimenangkan oleh pasukan laskar Sawunggaling

Demikianlah tadi cerita Sawunggaling dari tanah Jawa, yaitu Surabaya. Dari cerita tadi, semoga bisa dijadikan pelajaran bagi kita semua.

Para pelaku:
Sawunggaling diperankan oleh Anggara Jati
Dewi Sangkrah diperankan oleh Naini Astuti
Sawungrana diperankan oleh Wijayanto
Sawungsari diperankan oleh Indra
Adipati Cakraningrat diperankan oleh Rizal Aditya
Adipati Jayengrana diperankan oleh Putra Ananda
Prajurit diperankan oleh oleh Andika
Anak-anak diperankan oleh Rio dan Rinto
Panitia/ Sosro Adiningrat diperankan oleh Candra
Beberapa tokoh pembantu pasukan kompeni Belanda


7.  Drama "Keong Emas"
Narator:
Alkisah, di daerah Jawa Timur tersebutlah seorang raja bernama Kertamarta yang bertahta di Kerajaan Daha. Ia mempunyai dua orang putri yang cantik jelita. Yang sulung bernama Dewi Galuh Ajeng, sedangkan yang bungsu bernama Candra Kirana.
Berita tentang kecantikan kedua kakak-beradik tersebut tersebar hingga ke berbagai negeri.

Suatu hari, datanglah seorang putra mahkota yang gagah dan tampan bernama Raden Inu Kertapati dari Kerajaan Kahuripan untuk meminang salah seorang dari mereka. Kedatangan pangeran tampan itu disambut baik oleh Raja Kertamarta bersama permaisuri dan kedua putrinya.

Saat melihat ketampanan Raden Inu Kertapati, Putri Galuh Ajeng langsung jatuh hati. Ia berharap lamaran putra mahkota Kerajaan Kahuripan itu ditujukan kepadanya. Namun, ternyata Raden Inu Kertapati lebih memilih Putri Candra Kirana. Raja dan permaisuri pun menyetujuinya dan segera menunangkan mereka.

Adegan 1

Putri Galuh:
Haaahhh!! Aku kesal! Kesaaal! Kesaaal! Kenapa Raden Inu Kertapati lebih memilih Candra Kirana? Padahal, aku kan yang lebih cantik daripada Candra Kirana. Kenapa juga ayahanda menyetujui Raden Inu Kertapati memilih Candra Kirana. Padahal.... aku yang lebih tua daripada Candra Kirana.
Yang lebih menyakitkan lagi, mereka akan segera ditunangkan. Mestinya aku yang lebih pantas bertunangan dengan Raden Inu Kertapati. Pokoknya aku tidak rela  Candra Kirana bertunangan dengan Raden Inu Kertapati. Aku harus menyingkirkan Candra Kirana dari istana ini. Bagaimanapun caranya Raden Inu Kertapati harus menikah denganku!

Narator:
Suatu hari, secara diam-diam Putri Galuh  pergi ke rumah seorang nenek sihir untuk mencelakai adiknya

Adegan 2

Putri Galuh:
Permisi Nek.

Nenek Sihir:
Ada apa tuan putri berkenan datang ke gubug hamba?

Putri Galuh:
Maukah nenek membantuku?

Nenek Sihir:
Apa yang bisa saya bantu untuk tuan putri?

Putri Galuh:
Kamu sihir Putri Candra Kirana menjadi seekor keong! Setelah itu buanglah dia ke laut!

Nenek Sihir:
Ampun, Tuan Putri! Ada apa gerangan dengan Tuan Putri Candra Kirana? Bukankah dia adik kandung Tuan Putri sendiri?

Putri Galuh:
Dia itu adik yang tidak tahu diri. Ia telah merebut Raden Inu Kertapati dariku. Sudahlah Nek. tidak usah banyak tanya! Laksanakan saja perintahku!

Nenek Sihir:
Tapi, bagaimana caranya, Tuan Putri? Bukankah Putri Candra Kirana jarang keluar istana? Jika aku menyihirnya di istana, pasti akan ketahuan Baginda Raja

Putri Galuh:
Benar juga katamu, Nek! Ayahanda pasti curiga jika mengetahui hal ini. Ya sudah, kalau begitu aku cari akal supaya Candra Kirana bisa keluar dari istana.

Narator:
Akhirnya, Putri Galuh pun memfitnah adiknya sehingga diusir dari istana.

Ketika Putri Candra Kirana berjalan menyusuri pantai, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara tawa nenek-nenek yang sangat menyeramkan.

Adegan 3

Nenek Sihir:
Iiii...hi... hi... hi...!!!

Candra Kirana:
Iiiihhh suara apa itu? Seperti suara nenek-nenek. Tapi di sekelilingku seperti tidak ada seorangpun.
Aneh! Kenapa ada suara tawa, tapi tidak ada orangnya? Iiih menyeramkan! Aku harus segera pindah dari tempat ini

Narator:
Ketika Putri Candra Kirana hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba seorang nenek muncul dan berdiri di depannya.

Nenek Sihir:
Hai Putri cantik, mau kemana?

Candra Kirana:
Hai, Nek! Kamu siapa dan kenapa menghalangi jalanku?

Nenek Sihir:
Aku si Nenek penyihir! Aku diperintahkan oleh Putri Galuh untuk menyihirmu menjadi keong emas, karena kamu telah menyakiti hatinya. Kamu telah merebut Raden Inu Kertapati darinya

Candra Kirana:
Ampun, Nek! Jangan sihir aku!

Narator:
Tanpa ampun lagi, Nenek Sihir itu menyihir Putri Candra Kirana menjadi seekor keong emas.

Nenek Sihir:
Hi...... hiiii.....hiiiiii sekarang kau sudah berubah jadi keong emas, putri.
Putri, sihir ini akan hilang jika kamu bertemu dengan tunanganmu.
Nah, sekarang putri akan aku buang ke tengah laut supaya kau bisa bermain dengan keong-keong di laut
Hi.... hii.... hiiiii

Narator:
Sejak itu, Putri Candra Kirana hidup di laut sebagai seekor keong bersama keong lainnya.
Suatu hari, ketika sedang mencari makan di antara batu karang di tepi laut, ia tersangkut pada jaring seorang nenek nelayan tua yang sedang menjaring ikan.

Adegan 4

Nenek Nelayan:
Waaah, indah sekali warna keong ini! Baru kali ini aku melihat keong berwarna kuning keemasan.
Hai keong cantik, kamu ku bawa pulang ya. Akan kupelihara kau. Dan akan kusimpan di tempayan.

Narator:
Keesokan harinya, nenek nelayan kembali  ke laut mencari ikan.

Nenek Nelayan:
Keong cantik, nenek ke laut dulu ya mencari ikan.

Narator:
Pergilah nenek nelayan ke laut. Setelah hari  menjelang siang, ia belum juga mendapatkan seekor ikan pun. Akhirnya, ia memutuskan pulang ke pondoknya karena perutnya terasa sangat lapar. Betapa terkejutnya ia ketika tiba di pondoknya. Ia mendapati berbagai jenis makanan lezat lengkap dengan buah-buahannya telah tersedia di atas meja dapurnya.

Adegan 5

Nenek Nelayan:
Hai, siapa yang menghindangkan makanan lezat ini?
Tak apalah aku dah lapar sekali. Aku ingin segera menyantapnya.
Wuaah sampai bersih makanannya tak ada sisa sedikitpun

Narator:
Keesokan harinya, kejadian aneh itu terjadi lagi. Begitu pula pada hari-hari berikutnya, ia mengalami peristiwa yang sama. Kejadian aneh itu membuat nenek nelayan penasaran ingin mengetahui siapa pelakunya.

Suatu hari, Nenek nelayan  sengaja kembali dari laut lebih cepat dari pada biasanya. Dengan sangat hati-hati, ia mengintip ke dalam pondoknya melalui sebuah lubang kecil. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat kebulan asap keluar dari tempayannya.

Adegan 6

Nenek Nelayan:
Haaahh? Kenapa bisa dari dalam tempayan itu keluar asap? Dan....
(sambil berkedip)Haaahhh? Ada putri yang cantik dari kebulan asap itu dan langsung memasak.
Sungguh ajaib! Aku jadi penasaran. Aku harus tanya putri itu,
Hai, Putri Cantik! Siapa gerangan kamu dan dari mana asalmu?

Candra Kirana:
Maaf Nek, jika kehadiranku mengusik ketenangan Nenek! Namaku Putri Candra Kirana, putri dari Kerajaan Daha yang disihir menjadi keong emas oleh seorang nenek, suruhan saudaraku.

Nenek Nelayan:
Ampun, Tuan Putri! Jika nenek boleh tahu, kenapa saudaramu menyuruh nenek itu menyihirmu?

Candra Kirana:
Saudaraku Putri Galuh iri padaku, Nek. Dia ingin merebut tunanganku, Nek. Terus dia menyuruh tukang sihir untuk menyihirku menjadi keong emas seperti ini dan akhirnya aku bertemu dengan nenek sampai ke gubug nenek ini.
Dan kata si tukang sihir itu, sihir ini akan hilang jika aku bertemu dengan tunanganku.

Narator:
Seketika itu Candra Kirana masuk lagi ke dalam Tempayan. Nenek tertegun mendengar cerita Candra Kirana

Sementara itu, Pangeran Inu Kertapati menyamar menjadi rakyat biasa. Ia pergi ke desa-desa untuk mencari kekasihnya, Candra Kirana. Nenek sihir mengetahuinya, maka ia merubah dirinya menjadi burung gagak hitam yang bisa bicara.

Adegan 7

Nenek Sihir/Burung Gagak:
Hai, pangeran. Hendak kemana sampai memasuki desa ini?

Pangeran Inu Kertapati:
Hai, burung gagak. Kau pasti gagak sakti bisa bicara seperti manusia.
Aku ingin mencari Candra Kirana. Apakah kau bisa memberi petunjuk dimana dia berada?

Nenek Sihir/Burung Gagak:
Tentu aku tahu keberadaan Putri Candra Kirana. Pangeran ikuti jalan ini nanti akan ketemu dengan Putri Candra Kirana

Pangeran Inu Kertapati:
Oh iya, ya.  Aku ikuti petunjukmu. Terimakasih, gagak yang baik.

Narator:
Pangeran mengira ia gagak sakti. Padahal dia adalah jelmaan nenek sihir yang sengaja  menunjukkan tempat yang salah supaya Pangeran Inu Kertapati  tidak bertemu dengan Candra Kirana.

Di tengah jalan, Pangeran bertemu kakek tua yang kelaparan.

Pangeran Inu Kertapati:
Kakek tua itu, kasihan sekali. Seperti lemas sekali badannya.
Kek, kakek sudah makan belum?

Kakek sakti:
Belum, nak. Hari ini kakek belum mendapatkan makanan.

Pangeran Inu Kertapati:
Kasihan sekali kakek ini. Kek, ini bekal saya buat makan kakek.

Kakek sakti:
Terimakasih anak muda. Lalu, anak sendiri mau kemana?

Pangeran Inu Kertapati:
Aku mencari putri Candra Kirana, Kek. Sampai sekarang belum kutemukan juga. Untung ada burung gagak ini yang akan menunjukkan tempat dimana Candra Kirana berada sekarang.

Kakek sakti:
Anak muda, lihatlah....

Narator:
Kakek tua tiba-tiba memukul gagak hitam dengan tongkatnya. Gagak itupun berubah menjadi asap, Pangeran Inu Kertapati terkejut melihatnya

Kakek sakti:
Ketahuilah, Nak. Burung gagak itu bukan mau menunjukkan tempat dimana Candra Kirana berada. Tapi dia justru akan menyesatkanmu. Dia sebenarnya adalah jelmaan nenek sihir. Putri Candra Kirana yang pangeran cari sebenarnya ada di desa Dadapan.

Pangeran Inu Kertapati:
Desa Dadapan?

Kakek Sakti:
Betul, pangeran. Segera carilah desa itu. Kau akan menemukan yang kau cari

Pangeran Inu Kertapati:
Iya, kek. Terimakasih, kek.

Narator:
Setelah menunjukkan pada Pangeran Inu Kertapati dimana Candra Kirana berada, kakek itu segera berlalu dari hadapan pangeran. Pangeranpun segera menuju ke desa dadapan. Di perjalanan, dia kehausan

Adegan 8

Pangeran Inu Kertapati:
Haaahhh, aku capek dan haus sekali. Bekalku pun juga sudah habis.
Eh! Itu ada gubug. Aku mampir ke gubug itu dulu barangkali penghuni gubug itu bersedia memberiku minum.
Permisi? Ada orangkah di dalam?

Narator:
Sesaat kemudian, pintu gubug terbuka dan....

Candra Kirana:
Pangeran Inu Kertapati?

Pangeran Inu Kertapati:
Diajeng Candra Kirana? Ternyata kau berada di sini. Dinda, aku sudah lama mencari-carimu.
Syukurlah!, kita bertemu kembali disini. Tapi kenapa dinda Candra Kirana bisa berada disini?

Narator:
Dengan pertemuan itu, maka hilanglah sihir Candra Kirana. Dan Candra Kirana menceritakan semua yang terjadi pada putri Candra Kirana, dan tak lama kemudian nenek nelayan pulang dari mencari ikan,

Nenek Nelayan:
Haaahh? Di gubugku ada seorang pangeran dan seorang putri yang cantik. Siapa mereka?

Narator:
Sementara, nenek nelayan sedang melamun Candra Kirana langsung menarik tangan nenek nelayan

Candra Kirana:
Nenek, ini Pangeran Inu Kertapati tunanganku nek.

Nenek nelayan:
Oooh benarkah? Syukurlah kalian telah dipertemukan kembali di gubugku.

Pangeran Inu Kertapati:
Iya, nek. Saya pangeran Inu Kertapati tunangan putri Candra Kirana. Kedatangan saya kesini ingin mengajak Putri Candra Kirana kembali istana. Dan nenek harus ikut kami ke istana

Narator:
Akhirnya Pangeran Inu Kertapati dan Candra Kirana kembali ke istana dan memboyong nenek nelayan yang tinggal di desa dadapan itu.
Pangeran melaporkan perbuatan Galuh Ajeng ke raja Kertamarta. Maka Galuh Ajeng diberi hukuman yang setimpal. Karena merasa takut, Galuh Ajeng lari ke hutan dan terperosok ke dalam jurang dan akhirnya meninggal.

Candra Kirana dan Raden Inu Kertapati kemudian dinikahkan dan mereka hidup bahagia.


6. Drama "Bawang Merah & Bawang Putih"

Pada dahulu kala tinggalah sebuah keluarga disebuah desa. Mereka terdiri dari ayah, ibu, dan seorang gadis remaja dengan nama Bawang Putih. Mereka adalah sebuah keluarga yang hidup bahagia. Kendati ayah Bawang Putih hanyalah seorang pedagang biasa, namun mereka bisa hidup dengan sangat rukun dan sentosa hingga pada suatu hari ibu Bawang Putih sakit parah yang akhirnya meninggal dunia. Bawang Putih sangat berduka dengan meninggalnya ibunda tercintanya itu, begitu juga dengan ayahnya, ia merasakan duka yang sangat mendalam harus menerima kenyataan itu.

Dialog drama Bawang Merah & Bawang Putih

Bawang Putih:
Ayah, kenapa sih ibu harus pergi meninggalkan kita dengan begitu cepatnya?

Ayah:
Ini memang sudah menjadi kehendak yang maha kuasa, nak.

Bawang Putih:
Ya, sudah lah, yah.. memang sudah menjadi ketentuan yang maha kuasa.

Ayah:
Ya, benar anakku. Biarlah, ini memang sudah ditentukan-Nya.

Di desa itu terdapat seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang Putih meninggal ibu Bawang Merah sering menyempatkan diri untuk berkunjung kerumah Bawang Putih. Ibu Bawang Merah sering membawakan makanan untuk Bawang Putih dan ayahnya, membantu Bawang Putih bersih-bersih rumah, dan juga menemani Bawang Putih dan ayahnya untuk berbagi lewat obrolan.

Ibu Bawang Merah:
Bawang Putih... ini saya bawakan makanan untuk kamu.

Bawang Putih:
Iya, terima kasih banyak bu sudah membawakan makanan untuk Bawang Putih.

Ibu Bawang Merah:
Ya, sama-sama, ibu cuman nggak pengen lihat kamu kurang makan. Ya sudah, kalau gitu ibu pamit pulang dulu.

Ayah Bawang Putih : Bu, nitip salam ya buat Bawang Merah.

Ibu Bawang Merah: Iya, nanti aku sampaikan ke Bawang Merah.

Kedekatan Ayah Bawang Putih dengan ibu Bawang Merah yang dirasanya sangat baik hati membuat ayah Bawang Putih kepikiran untuk menikahi ibu Bawang Merah. Dengan meminta pertimbangan dari Bawang Putih, kemudian ayah Bawang Putih menikah dengan ibu Bawang Merah.

Ayah Bawang Putih:
Bawang Putih, andai saja ayah menikahi dengan ibu Bawang Merah, apakah kamu setuju, nak?

Bawang Putih: Aku hanya ngikut kemauan ayah, kalau ayah memang menginginkannya, kenapa aku harus menghalanginya. Lagian ibu Bawang Merah itu kan baik hati.

Ayah Bawang Putih:
Baiklah nak kalau begitu, terimakasih atas izin kamu. Bagaimana denganmu Bawang Merah? apakah kamu juga setuju?

Bawang Merah:
Aku juga setuju, ibu setuju juga kan?

Ibu Bawang Merah:
Ya, ibu juga setuju dengan niatan ayah Bawang Putih untuk menikahi ibu.

Diawal-awal pernikahan, ibu Bawang Merah dan Bawang Merah bersikap sangat baik kepada Bawang Putih. Namun, lama-kelamaan tabiat sesungguhnya mereka akhirnya mulai kelihatan. Bawang Merah dan ibunya sering kali memarahi Bawang Putih dan tidak jarang memberinya pekerjaan yang berat manakala ayah Bawang Putih sedang tidak ada dirumah. Karena Ayah Bawang Putih sedang berdagang, maka ayah Bawamg Putih tidak tahu-menahu perihal perlakukan ibu tirinya itu karena Bawang Putih sendiri tidak pernah menceritakan perlakukan ibu tirinya itu kepada ayahnya.

Ibu:
Putih.. kamu harus membersihkan lantai ya, cuci piring, dan semua pekerjaan rumah harus kamu bereskan!

Bawang Putih:
Iya, Baik bu, akan Putih kerjakan.

Bawang Merah:
Putih, kamu harus membersihkan kamarku biar terlihat rapi dan nggak berantakan.

Bawang Putih:
Baik kak, akan Putih bersihkan.

Pada suatu hari ayah Bawang Putih jatuh sakit hingga kemudian meninggal dunia. Kini Bawang Putih tidak lagi punya ayah dan juga ibu.

Ayah:
Bawang Putih, sepertinya ayah sudah tidak kuat lagi. Penyakit ayah tidak mungkin bisa disembuhkan lagi.

Bawang Putih:
Ayah, Putih mohon sama ayah, jangan tinggalin Putih, yah! Putih akan sama siapa lagi, yah?

Ayah:
Maafkan ayah, nak. Jika ayah pergi, kamu baik-baik saja ya, nak.

Bawang Putih:
Iya, ayah.

Ayah:
Bu, aku titip Putih ya? Tolong jagain Putih, dan aku mohon ibu bisa menganggap dia seperti anak ibu sendiri.

Ibu Bawang Merah:
Ya, baik ayah.

Bawang Putih:
Ayah.. jangan tinggalkan Putih, yah! (Bawang Putih bercucuran air mata)

Sejak saat itu Bawang Merah dan ibunya semakin leluasa dan bertindak semena-mena terhadap Bawang Putih. Bawang Putih seperti menjadi buruh Bawang Merah dan ibunya.
Ibu:
Bawang Putih, nanti kamu harus bangun sebelum adzan Subuh. Kamu harus persiapkan air mandi dan sarapan untuk ibu dan Bawang Merah. Terus kamu harus memberi makan pada ternak, lalu menyiram di kebun, dan mencuci baju ke sungai. Sesudah itu, kamu lekas menyetrika baju, dan membersihkan rumah, paham?

Bawang Putih:
Ya, Putih mengerti, ibu.

Meskipun diperlakukan seperti seorang pembantu, namun Bawang Putih selalu mengerjakan perintah Ibu Bawang Merah dengan hati yang riang. Dia berharap suatu saat ibu tirinya itu bisa mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.

Pada pagi itu, seperti biasa Bawang Putih membawa timba berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Sambil bernyanyi kecil Putih menyusuri jalan setapak dipinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya.

Bawang Putih:

Pada hari itu cuaca sangat cerah. Bawang Putih segera mencuci semua pakaian kotor milik ibu dan kakak tirinya yang dibawanya. Merasa terlalu keasyikan, Bawang Putih tidak menyadari bahwa salah satu baju ibu tirinya hanyut terbawa arus. Lebih parahnya lagi baju yang hanyut itu merupakan baju kesayangan ibu tirinya. Saat menyadari hal itu, Bawang Putih mencoba menyusuri sungai untuk menemukan baju itu.

Bawang Putih:
Aku harus menemukan baju ibu, karena itu adalah baju kesayangannya. Jika tidak, ibu pasti akan sangat marah sama aku.

Setelah berusaha mencarinya dengan menyusuri sungai, Bawang Putih akhirnya tidak berhasil menemukan baju kesayangan ibu tirinya itu. Dengan wajah putus asa dia kembali kerumah dan menceritakan kejadian itu kepada ibunya.

Bawang Putih:
Bu, Putih mau minta maaf sama ibu. Maafkan Putih bu, baju ibu hanyut terbawa arus.

Ibu:
Terbawa arus? Dasar kamu ceroboh! Aku tidak mau tahu, pokoknya  kamu harus mencari baju itu sampai ketemu ! Ingat, kamu tidak boleh pulang ke rumah jika belum menemukan baju itu, paham?

Dengan segala keterpaksaan, Bawang Putih terpaksa harus menuruti keinginan ibu tirinya. Dia kembali menyusuri sungai tempat dimana dia tadi mencuci. Setelah sekian lama mencari, Bawang Putih tak juga menemukan baju itu. Bawang Putih terus berusaha mempertajam pandangannya dan lebih teliti lagi untuk menemukan baju itu.

Bawang Putih bertemu dengan seorang wanita paruh baya dan menanyakan sesuatu kepada orang tersebut.

Bawang Putih:
Bi.. bi.. bi.. !

Bibi:
Ya, ada apa nak?

Bawang Putih:
Mau nanya bi, apakah bibi melihat baju merah hanyut terseret arus lewat sini? Saya harus menemukan baju itu bi, dan harus segera membawanya pulang.

Bibi:
Tadi sih saya lihat nak, kalu kamu mengejarnya kamu harus cepat-cepat! mungkin kamu bisa menemukan baju itu.
                                                                                                                                      Bawang Putih:
Baiklah bi, terimakasih banyak ya, bi!

Bibi:
Iya, sama-sama.

Hari sudah beranjak gelap, Bawang Putih pun mulai putus asa untuk menemukan baju itu. Tidak lama lagi malam akan tiba. Dari kejauhan Nampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk tepi sungai. Bawang Putih bergegas menghampiri rumah itu lalu mengetuk pintu.

Bawang Putih:
Permisi, pak/bu……..!

Nenek:
Kamu siapa, nak?

Bawang Putih:
Saya Bawang Putih, nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hilang dibawah arus sungai dan sekarang kemalaman, apa boleh saya numpang disini malam ini, nek?

Nenek:
Tentu, tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai  baju itu, baiklah aku akan mengembalikannya sama kamu, tapi kamu harus menemeni nenek  disini selama seminggu, karena sudah lama nenek tidak ngobrol sama siapapun, bagaimana apa kamu setuju?

Bawang Putih:
Baiklah nek kalau begitu, saya akan menemani nenek selama satu minggu, asalkan nenek tidak jenuh sama aku.

Selama satu minggu Bawang Putih pun tinggal bersama nenek itu. Setiap hari Bawang Putih membantu nenek itu untuk mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Nenek itu pun merasa sangat senang sampai akhirnya genap sudah satu minggu. Nenek itu memanggil Bawang Putih

Nenek:
Nak, sudah satu minggu kamu tinggal digubuk nenek dan nenek senang sekali karena kamu anak   yang  sangat rajin dan berbakti. Karena itu, sesuai  janji nenek sebelumnya kamu boleh membawa pulan baju ibu kamu, dan satu lagi kamu boleh memilih salah satu dari labu kuning ini sebagai hadiah dari nenek.

Bawang Putih:
Jangan nek, nenek tidak usah memberiku hadiah.

Nenek:
Sudahlah, ambil saja Bawang Putih.

Bawang Putih:
Ya sudah, kelau begitu Putih memilih yang kecil, nek.

Nenek:
Kenapa kamu memilih yang kecil, nak?

Bawang Putih:
Kalau yang besar, saya takut tidak kuat membawanya, nek.

Nenek itu pun tersenyum...

Setelah sampai di rumah, Bawang Putih segera menyerahkan baju merah milik ibu tirinya itu.

Bawang Putih:
Ibu, ini baju ibu sudah aku temukan.

Ibu:
Mana? Ya sudah, sana pergi kamu.

Bawang Putih:
Ya, bu.

Bawang Putihpun pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya, betapa terkejutnya Bawang Putih ketika labu yang terbelah itu ternyata berisi emas permata yang sangat banyak sekali.

Bawang Putih:
Haaah... emas. Ibu, aku dapat emas permata.

Bawang Merah dan ibunya pun langsung merebut emas dan Permata tersebut dari Bawang Putih.

Bawang Merah:
He.., kamu dapat emas dan permata ini darimana? kok bisa-bisanya dapat emas permata sebanyak ini?

Ibu:
Dapat darimana kamu, Putih?

Bawang Putih:
Emas itu aku dapat dari…

Bawang Merah:
Darimana? Ayo ngomong kamu!

Bawang Putih:
Pas aku sedang mencari baju ibu yang hanyut terbawa arus yang kemudian kemalaman terus aku menginap  dirumah seorang nenek yang gubuknya berada pinggir sungai, dan aku disuruh untuk menemaninya selama satu minggu. Setelah itu, aku diberi hadiah ini yang ternyata berupa emas permata setekag aku belah.

Usai mendengar cerita Bawang Putih, Bawang Merah pun berencana untuk melakukan hal yang sama, tapi kali ini Bawang Merah yang berniat melakukannya.

Ibu:
Bawang Merah, kamu harus melakukan apa yang dilakukan oleh anak malang ini.

Bawang Merah:
Ya, bu. Bawang Merah akan melakukannya.

Ibu:
Ya sudah, kalau begitu besok pagi kamu harus pergi ke sungai, ya?

Bawang Merah:
Ya, baik bu.

Pada esok harinya Bawang Merah pun secara sengaja menghanyutkan bajunya ke sungai, setelah itu dia lantas menuju rumah nenek tersebut.

Bawang Merah:
Nek, nek... nenek lihat baju yang hanyut, tidak?                                                                  

Nenek: Nenek tau, tapi kamu harus menemaniku selama seminggu, bagaimana?

Bawang Merah:
Ya, baiklah nek.

Selama satu minggu lamanya Bawang Merah selalu bermalas-malasan, jika ada yang dikerjakan pasti hasilnya tidak sesuai keinginan nenenk itu karena dikerjakan dengan malas-malasan. Akhirnya setelah satu minggu nenek membolehkan Bawang Merah untuk pulang.

Bawang Merah:
Bukannya mestinya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena sudah mau menemani nenek selama satu minggu?

Nenek:
Oh, ya... silahkan kamu memilih salah satu dari labu itu.

Bawang Merah:
Bawang Merah pun mengambil yang besar, dan langsung pergi meninggalkan gubuk nenek itu.

Ketika sampai di rumah, Bawang Merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut Bawang Putih akan minta bagian, mereka menyuruh Bawang Putih untuk pergi ke sungai yang tidak jauh dari rumahnya.

Ibu:
Bwang Putih, sana kamu pergi ke sungai cuci baju-baju yang kotor.

Bawang Putih:
Iya, bu.

Hingga Bawang Putih pergi, mereka membelah labu tersebut, namun ternyata yang keluar bukan emas melainkan binatang berbisa, salah satunya adalah ular. Binatang itu pun langsung menyerang Bawang Merah dan Ibunya sampai meninggal.

Bawang Merah & Ibu:
Aaa... tolong.... !!

Demikian naskah drama Bawang Merah & Bawang Putih II, semoga bermanfaat.


5. Drama Kisah " Telaga Warna "

· Tokoh Drama:
1.    Prabu Suwartalaya
2.    Ratu Purbamanah
3.    Gilang Rukmini
4.    Penasehat
5.   Tukang Perhiasan
6.   Rakyat


Narator:
Dikisahkan pada zaman dahulu kala, di Jawa Barat terdapat sebuah kerajaan yang bernama kerajaan Kutatanggeuhan yang  dipimpin oleh raja yang arif dan bijaksana yaitu Prabu Suwartalaya dan Ratu Purbamanah. Rakyatnya hidup tenang, makmur, tenteram, damai dan sejahtera. Namun Sayangnya, Prabu Suwartalaya dan Ratu Purbamanah belum dikaruniai seorang anak. Sehingga, ini menjadi kegelisahan sang Prabu Suwartalaya dan Ratu Purbamanah.

Adegan 1

Ratu Purbamanah:
(sedang murung dan menangis)

Prabu Suwartalaya:
Sudahlah dinda. Jangan murung dan menangis terus. Kalau dinda bersedih terus seperti ini, kanda jadi ikut bersedih.

Ratu Purbamanah:
Gimana dinda ga akan bersedih kanda, sudah bertahun-tahun kita berumah tangga tapi belum dikaruniai seorang anak.

Penasehat:
Baginda, supaya Ratu Purbamanah tidak sedih terus bagaimana kalau mengangkat seorang anak saja baginda. Barangkali bisa mengurangi kesedihan Ratu.

Ratu Purbamanah:
Tidak! Aku tidak mau punya anak angkat!

Prabu Suwartalaya:
Iya, penasehat.
Akupun juga tidak setuju jika mengangkat seorang anak. Buat kami, anak kandung adalah lebih baik dari pada anak angkat.

Narator:
Ratu Purbamanah masih terus menangis

Prabu Suwartalaya:
Sudahlah dinda jangan menangis terus. Kanda akan berusaha lagi. Kanda akan pergi ke hutan untuk bertapa agar kita cepat dikaruniai seorang anak.

Ratu Purbamanah:
Baiklah kalau begitu. Jika memang kanda harus pergi ke hutan untuk bertapa, Baiklah kanda. dinda juga turut berdo’a. hati-hati kanda.

Narator:
Pergilah Prabu pergi ke hutan untuk bertapa. Di hutan, sang prabu terus menerus berdo’a agar dikaruniai anak.

Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka terkabul. Ratu Purbamanahpun mulai hamil. Seluruh rakyat senang sekali. Mereka membanjiri istana dengan hadiah.

Sembilan bulan kemudian, Ratu Purbamanah melahirkan seorang putri.

Adegan 2:

Ratu Purbamanah:
(menggendong seorang bayi)

Prabu Suwartalaya:
Putri kita cantik ya, Dinda. Dan kelihatannya sangat lucu.

Ratu Purbamanah:
Iya Kanda. Kita harus bersyukur akhirnya kita dikaruniai seorang anak.

Prabu Suwartalaya:
Iya dinda. Putri kita ini juga manis, dan sangat menggemaskan!
Oleh karena itu, bagaimana kalau kita beri nama Gilang Rukmini?
Gimana dinda setuju tidak?

Ratu Purbamanah:
Dinda setuju setuju saja kanda.

Narator:
Sesaat raja dan ratu sedang berbahagia, datanglah penasehat kerajaan.....

Penasehat:
Ampun baginda. Ini dari rakyat, mengirimkan beraneka hadiah untuk putri baginda. Mereka turut bersuka cita dan mengucapkan selamat atas kelahiran putri baginda.

Prabu Suwartalaya:
Terima kasih, Paman

Narator:
Tak hanya keluarga istana yang berbahagia, rakyat  turut berbahagia mendengar kabar tersebut.

Sayangnya, Gilang Rukmini tidak diasuh secara baik oleh Prabu Suwartalaya dan Ratu Purbamanah. Gilang pun tumbuh menjadi gadis yang manja dengan sifat-sifat yang kurang baik. Dia tak segan berkata kasar untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Walaupun begitu, baik Prabu Suwartalaya, Ratu Purbamanah, dan rakyat sangat mencintainya.

Hari berlalu, Putri pun tumbuh menjadi gadis remaja tercantik di seluruh negeri. Dalam beberapa hari, Putri akan berusia 17 tahun. Maka para penduduk di negeri itu pergi ke istana. Mereka membawa aneka hadiah yang sangat indah. Prabu mengumpulkan hadiah-hadiah yang sangat banyak itu, lalu menyimpannya dalam ruangan istana. Sewaktu-waktu, ia bisa menggunakannya untuk kepentingan rakyat.

Prabu hanya mengambil sedikit emas dan permata. Ia membawanya ke ahli perhiasan.

Adegan 3

Prabu Suwartalaya:
Pak, tolong buatkan kalung yang sangat indah untuk putriku.

Tukang perhiasan:
Dengan senang hati, Yang Mulia.

Narator:
Ahli perhiasan itu lalu bekerja dengan sebaik mungkin, dengan sepenuh hati. Ia ingin menciptakan kalung yang paling indah di dunia, karena ia sangat menyayangi Putri Raja.

Hari ulang tahun pun tiba. Penduduk negeri berkumpul di alun-alun istana. Ketika Prabu dan Ratu Purbamanah datang, orang menyambutnya dengan gembira. Sambutan hangat makin terdengar, ketika Putri yang cantik jelita muncul di hadapan semua orang. Semua orang mengagumi kecantikannya.

Adegan 4

Rakyat-rakyat :
(teriak dan bertepuk tangan)
Horeee!! horeeee!! Horeeee!!! Raja dan Ratu telah datang!

Rakyat 1:
Wuaaah cantik sekali ya, putri Prabu Suwartalaya.

Rakyat 2:
Iya. Aku jadi iri melihatnya.

Narator:
Prabu lalu bangkit dari kursinya. Kalung yang indah sudah dipegangnya. Kemudian...

Prabu Suwartalaya:
Putriku tercinta Gilang Rukmini, hari ini hari ulang tahunmu. aku berikan kalung ini untukmu. Kalung ini pemberian orang-orang dari penjuru negeri. Mereka sangat mencintaimu. Mereka mempersembahkan hadiah ini, karena mereka gembira melihatmu tumbuh jadi dewasa. Pakailah kalung ini, Nak.

Narator:
Putri menerima kalung itu. Lalu ia melihat kalung itu sekilas. Kemudian...

Gilang Rukmini:
Aaahh!! Kalung apa ini?! Kalung ini jelek! Aku tak mau memakainya! (kalung dilempar)

Rakyat:
Haaahhhh??? Kalung indah terbuat dari emas permata itu di lempar begitu saja oleh putri. Sungguh ku tak menyangka putri baginda berbuat seperti itu.

Narator:
Kalung yang indah pun rusak. Emas dan permatanya tersebar di lantai. Seluruh rakyat yang hadir terkejut. Tak seorangpun bicara. Suasana hening. Tiba-tiba Ratu Purbamanah  menangis melihat perilaku putrinya. Rakyatnya pun mengikuti menangis melihat Ratu Purbamanah menangis. Akhirnya, semua pun  meneteskan air mata, hingga istana basah oleh air mata mereka.

Ratu Purbamanah:
(menangis)

Narator:
Tiba-tiba muncul mata air dari halaman istana. airnya keluar sangat deras yang makin lama makin banyak.

Rakyat 1:
Haaahh?? Ada air! Air! Air!

Rakyat 2:
Hahhh? tiba-tiba air ini membentuk kolam kecil!

Rakyat 3:
Bukan! Ini banjir! Banjir! Banjiir! Banjiiir! Banjiirr!

Narator:
Setelah kejadian tersebut, rakyat berteriak teriak kebingungan, panik, ketakutan dan......
Tiba-tiba  Istana pun dipenuhi air bagai danau. Lalu danau itu makin besar dan menenggelamkan istana. Kemudian........, terciptalah sebuah danau yang sangat indah.

Nama danau itu kini dikenal orang sebagai Telaga Warna. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun, orang mengatakan, warna-warna itu berasal dari kalung Putri Gilang Rukmini yang tersebar di dasar telaga.


4. Drama "Asal Mula Nama Kota Cianjur"

Tokoh Drama:1.    Pak Kikir2.    Anak Pak Kikir3.    Nenek4.    Warga Desa

Dikisahkan,  pada jaman dahulu  kala di daerah jawa barat hiduplah seorang lelaki petani yang sangat kaya. Seluruh sawah dan ladang di desanya menjadi miliknya. Penduduk desa hanya menjadi buruh tani penggarap sawah dan ladang lelaki kaya itu. 
Petani kaya itu memiliki sifat kikir. Oleh karena itu, penduduk desa menjulukinya Pak Kikir. Kekikiran Pak kikir tidak pandang bulu, sampai-sampai terhadap anak lelaki satu-satunya pun dia juga sangat pelit. Untunglah sifat kikir itu tidak menular pada anak lelakinya itu. 
Anak Pak Kikir itu adalah pemuda yang baik hati. Tanpa sepengetahuan ayahnya, dia sering membantu tetangganya yang kesusahan.
Menurut anggapan dan kepercayaan masyarakat desa itu, jika menginginkan hasil panen yang baik dan melimpah maka harus diadakan pesta syukuran dengan baik pula. Takut jika panen berikutnya gagal, maka Pak Kikir terpaksa mengadakan pesta syukuran dan selamatan semua warga desa diundang oleh Pak Kikir.  
Pak Kikir:Wahai, para penduduk desa! Datanglah, kemari! Aku akan mengadakan pesta syukuran dan selamatan. Jangan lewatkan kesempatan ini! 
Warga 1:Hei, Kawan! tinggalkan dulu pekerjaannya. Pak kikir sedang mengadakan acara syukuran kita para warga desa  diundang untuk datang ke rumahnya.
Warga 2:Ayo, ayo,  buruan kita datang. Nanti buru abis makanannnya.
Warga 3:Ayo, kita sama-sama datang ke rumahnya.
Narator:Begitu setelah warga sampai di rumah Pak Kikir....
Warga 2:Huuuuhh! Kita diundang orang terkaya se desa, ku kira akan disediakan makanan yang enak dan lezat. Ternyata....cuman makanan apa ini?? Ga enak! Lagian makanannya dikiiit bangeeet. Ah! Ternyata perkiraanku meleset.
Warga 3:Iya betul. Tuh lihat para tamu undangan yang lain juga tidak mendapat makanan.
Warga 1:Ya Tuhaaann!(sambil mengelus dada)Pak kikir memang terbukti kikir!
Warga 2:
Huuh!! Sudah berani mengundang orang ternyata tidak dapat menyediakan makanan, sungguh keterlaluan! buat apa hartanya yang segudang itu.Tuhan tidak akan memberikan berkah pada hartanya yang banyak itu.
Narator:Demikianlah pergunjingan dan sumpah serapah dari orang-orang miskin mewarnai pesta selamatan yang diadakan Pak Kikir.
Pada saat pesta selamatan sedang berlangsung, iba-tiba datanglah seorang nenek tua renta,
Nenek:(sambil merintih)Tuan... berilah saya sedekah, walau hanya dengan sesuap nasi.
Pak Kikir:Apa, sedekah?! Kau kira untuk menanak nasi tidak diperlukan jerih payah hah...?
Nenek:Berilah saya sedikit saja dari harta tuan yang berlimpah ruah itu....Tuan, 
Pak Kikir:Tidak! Cepat pergi dari sini! kalau tidak, aku akan suruh tukang pukulku untuk menghajarmu!! 
Narator:Nenek tua itu segera berlalu dari hadapan Pak Kikir. Tidak mendapat sedekah tetapi malah diusir secara kasar oleh Pak Kikir. Dengan hati pilu, dan mengeluarkan air mata.nenek yang malang itu segera meninggalkan halaman rumah Pak Kikir. Ia berjalan sempoyongan menyusuri jalan desa. 
Melihat kejadian itu putera Pak Kikir sangat sedih. 
Anak Pak Kikir:Kasihan Nenek itu. Sudah dibentak-bentak ayah tapi juga ga dikasih makanan oleh ayah. Gimana ya, caranya aku bisa ngasih sedekah ke nenek itu?Oooh iya, aku ambilkan saja jatah makan siangku buat nenek itu.
Narator:Tak lama kemudian anak Pak Kikir mengejar si nenek tua.... 
Anak Pak Kikir:Mana si nenek ya? Ooh itu dia! Sudah sampai di ujung desa.Nek! Tunggu, Nek!
Narator:Nenek itu pun berhenti, lalu menoleh ke belakang. Ia melihat seorang anak muda berlari mendekatinya.
Nenek:Ada apa, Anak muda?
Anak Pak Kikir:Saya anak Pak Kikir, Nek! Saya ingin meminta maaf atas perlakuan ayah saya tadi! Sebagai obat kecewa, ambillah jatah makan siang saya ini, Nek!
Nenek:(gembira)Terima kasih, Nak! Engkau anak yang baik hati. Semoga Tuhan akan membalas kebaikanmu ini dengan kemuliaan.
Anak Pak Kikir:Sama-sama, Nek! kalau begitu, saya langsung pulang ya, Nek. Khawatir ayah mencariku.
Nenek:Hati-hati, Nak
Narator:Setelah anak Pak Kikir pergi, nenek tua itu segera menyantap makanan itu, lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah bukit di dekat desa. Setibanya di atas bukit, ia berhenti sejenak untuk melepaskan lelah. Dari atas bukit itu ia dapat melihat rumah Pak Kikir berdiri dengan megah di antara rumah-rumah penduduk desa. Ia turut bersedih melihat penderitaan penduduk akibat keserakahan Pak Kikir. 
Nenek:Dasar orang tua serakah! Tunggulah pembalasannya, Pak Kikir! Tuhan akan menimpakan hukuman kepadamu. Keserakahan dan kekikiranmu akan menenggelamkanmu!
Narator:Usai berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa, nenek tua itu segera menancapkan tongkatnya ke tanah. Begitu ia mencabut kembali tongkatnya, terpancarlah air yang sangat deras dari lubang tancapan itu. Semakin lama lubang tancapan itu semakin besar, sehingga terjadilah banjirlah besar. Melihat kedatangan banjir itu, para warga yang masih berkumpul di rumah Pak Kikir menjadi panik dan segera berlarian mencari tempat perlindungan untuk menyelamatkan diri.  
Warga 2:Haaahh?? Kenapa tiba-tiba ada air mengalir banyak sekali?
Warga 1: Ini banjir!
Warga 3:Iya betul. Ini banjir(teriak) Banjir...! Banjir...! Ayo lari...!
Narator:Melihat kepanikan para warga, anak Pak Kikir segera menganjurkan mereka agar berlari menuju ke atas bukit mencari tempat yang aman. 
Anak Pak Kikir:Hai, para  warga ga usah panik! Ayo segera kita selamatkan diri kita. Ayo, kita semua lari ke atas bukit!
Warga 1,2,3:Bagaimana dengan sawah dan ternak kita?
Anak Pak Kikir:Tidak usah memikirkan harta kalian! Kalian pilih harta atau jiwa?! Sudah tidak ada waktu untuk membawa harta lagi.Yang penting selamatkan dulu nyawa kalian!
Narator: Anak Pak Kikir yang bijak itu terus berteriak-teriak mengingatkan penduduk desa.Akhirnya, warga pun berlarian menuju ke atas bukit. Ia juga membujuk ayahnya agar segera keluar rumah menyelamatkan diri. Tapi apa kata Pak kikir...
Anak Pak Kikir:Ayah, cepat tinggalkan rumah ini! kita harus segera keluar menyelamatkan diri!
Pak Kikir:Apa? Lari begitu saja. Tolol!! Aku harus mengambil peti hartaku yang kusimpan di dalam tanah dulu!
Anak Pak kikir: (teriak)Ayah, ayo cepat keluarlah dari rumah! Banjir itu sudah semakin dekat! Kita harus segera menyelamatkan diri!” Ayaaaah! Ayo cepat keluaaar, ayaaah!Duuuh gimana ini ayah tidak mau keluar juga. Ya sudahlah aku harus menyelamatkan diri dengan para warga.
Narator:Pak Kikir tidak menghiraukan seruan anaknya. Ia terus berusaha mengambil peti hartanya yang disimpan di dalam tanah. Sementara anak Pak Kikir dan warga menyelamatkan diri berlari naik ke atas bukit, akhirnya selamat. sedangkanPak Kikir yang masih sibuk mengumpulkan hartanya, tidak dapat lagi menyelamatkan diri. Banjir besar itu telah menenggalamkannya.
Meskipun selamat mereka sangat sedih, karena seluruh desa mereka sudah terendam banjir. Rumah, ternak, dan seluruh harta benda mereka hanyut terbawa arus banjir. 
Para warga dan anak Pak Kikir menatap pemandangan desanya dari atas bukit penuh dengan genangan air.  
Anak Pak Kikir:Wahai para warga, kita tidak boleh larut terus menerus dalam kesedihan. Kita harus segera bangkit. Kita sama-sama mencari daerah lain yang lebih aman untuk kita bisa bermukim.
Warga 1:Ya betul! Kita ikut anjuranmu, Nak. Ayo kita segera berangkat!
Narator:Tak lama kemudian....
Warga 2:Nah! Tempat ini sepertinya cocok untuk pemukiman kita. Bagaimana para warga setuju kita tinggal di sini!
Para warga:Setujuuu?
Warga 3:Nah sekarang, kita menempati tempat tinggal baru. Kita harus memiliki pemimpin untuk memimpin desa kita yang baru. Bagaimana kalau kita pilih pemuda ini untuk menjadi kepala desa kita yang baru? Setuju para warga?
Para warga:Setujuuu!!

Narator:Setelah anak Pak kikir diangkat warga menjadi kepala desa, Anak Pak Kikir itu bisa menjadi seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Tak lama kemudian, Setelah membagi tanah secara rata, ia pun menganjurkan warganya untuk mengolah tanah tersebut. Ia mengajari mereka cara menanam padi dan mengairi sawah dengan baik. Berkat anjuran anak Pak Kikir, mereka hidup aman dan sejahtera. Mereka pun senantiasa patuh terhadap anjuran pemimpinnya. Desa itu kemudian mereka namai Desa Anjuran. 
Lama kelamaan desa itu berkembang menjadi kota kecil disebut Cianjur. Ci berarti air. Cianjur berarti daerah yang cukup mengandung air. Anjuran pemimpin desa dijadikan pedoman para petani dalam mengolah sawah. Hingga kini, kota Cianjur selain dikenal sebagai kota santri, juga penghasil beras wangi dan pulen. Dari cerita di atas, juga bisa diambil pelajaran bahwa kekikiran dan keserakahan terhadap harta benda dapat menyebabkan seseorang celaka. 

By :
Free Blog Templates